Etika
(Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah salah
satu cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang
menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral.
Etika
filosofis secara harfiah (fay overlay) dapat dikatakan sebagai etika
yang berasal dari kegiatan berfilsafat atau berpikir, yang dilakukan
oleh manusia.
Karena itu berbicara etika tidak dapat dilepaskan
dari filsafat. Karena itu, bila ingin mengetahui unsur-unsur etika maka
kita harus bertanya juga mengenai unsur-unsur filsafat.
Cabang-cabang filsafat berbicara mengenai sesuatu “yang ada”. Misalnya
filsafat hukum mempelajari apa itu hukum. Akan tetapi etika tidak
terbatas pada itu, melainkan bertanya tentang “apa yang harus
dilakukan”. Dengan demikian etika sebagai cabang filsafat bersifat
praktis karena langsung berhubungan dengan apa yang boleh dan tidak
boleh dilakukan manusia. Tetapi ingat bahwa etika bukan praktis dalam
arti menyajikan resep-resep siap pakai. Etika tidak bersifat teknis
melainkan reflektif. Maksudnya etika hanya menganalisis tema-tema pokok
seperti hati nurani, kebebasan, hak dan kewajiban, dsb, sambil melihat
teori-teori etika masa lalu untuk menyelidiki kekuatan dan kelemahannya.
Diharapakan kita mampu menyusun sendiri argumentasi yang tahan uji.
Etika teologis dapat didefinisikan sebagai etika yang bertitik tolak
dari presuposisi-presuposisi teologis. Definisi tersebut menjadi
kriteria pembeda antara etika filosofis dan etika teologis. Setiap agama
dapat memiliki etika teologisnya yang unik berdasarkan apa yang
diyakini dan menjadi sistem nilai-nilai yang dianutnya. Dalam hal ini,
antara agama yang satu dengan yang lain dapat memiliki perbedaan di
dalam merumuskan etika teologisnya.[
Thomas Aquinas (1225-1274)
yang menyintesiskan etika filosofis dan etika teologis sedemikian rupa,
hingga kedua jenis etika ini, dengan mempertahankan identitas
masing-masing, menjadi suatu entitas baru. Hasilnya adalah etika
filosofis menjadi lapisan bawah yang bersifat umum, sedangkan etika
teologis menjadi lapisan atas yang bersifat khusus.
Ada
pendapat lain yang menyatakan perlunya suatu hubungan yang dialogis
antara keduanya. Dengan hubungan dialogis ini maka relasi keduanya dapat
terjalin dan bukan hanya saling menatap dari dua horizon yang paralel
saja. Selanjutnya diharapkan dari hubungan yang dialogis ini dapat
dicapai suatu tujuan bersama yang mulia, yaitu membantu manusia dalam
bagaimana ia seharusnya hidup.
^ [K. Bertens. 2000. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 25.]
^ [Eka Darmaputera. 1987. Etika Sederhana Untuk Semua: Perkenalan Pertama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 94.]