BELUK
APAKAH ITU " BELUK " ?
Beluk adalah suatu jenis (genre) nyanyian yang terdapat secara luas
dalam wilayah budaya Sunda. Istilah lain untuk beluk, terutama di
wilayah bagian Kuningan, adalah gaok. Mungkin kedua istilah itu diambil
dari karakteristik teknik nyanyiannya, yang elak-eluk (berkelok-kelok),
atau yang guak-gaok, gagaokan (“berteriak,” melengking-lengking). Beluk
dinyanyikan laki-laki, dengan banyak memakai “suara kepala” (head voice,
yodel), sehingga perpindahan antara suara normal dan suara kepala itu
menciptakan liukan melodi atau loncatan-loncatan nada dan timber (warna
suara) yang sangat kentara. Lengkingannya panjang-panjang, yang umumnya
dilakukan dalam satu tarikan nafas. Para penyanyi seolah berlomba untuk
bisa mencapai nada setinggi-tingginya dengan nafas yang
sepanjang-panjangnya.
Beluk membawakan suatu cerita, yang dibaca
dari suatu buku yang disebut wawacan (“bacaan”), yaitu cerita yang
ditulis dalam puisi-tradisional berbentuk pupuh, seperti misalnya pupuh
Kinanti, Sinom, Asmarandana, Dangdanggula, Maskumambang, Magatruh, dll,
yang dalam vokabuler Sunda berjumlah 17 pupuh. Satu wawacan, atau satu
(episode) cerita yang berdiri sendiri secara utuh, mungkin memakai
seluruh 17 pupuh, atau mungkin pula hanya sebagian saja—umumnya memiliki
belasan jenis pupuh. Ada 4 pupuh yang selalu ada, yaitu Kinanti, Sinom,
Asmarandana, dan Dangdanggula, yang karena itu pula dalam dunia sastra
Sunda disebut “pupuh besar,” disingkat KSAD.
Setiap pupuh adalah
lagu, yang memiliki aturan baku dalam jumlah baris, jumlah suku kata
(guru wilangan) dan bunyi huruf (vokal) dari setiap akhir baris (guru
lagu). Pupuh-pupuh inilah yang dinyanyikan oleh pemain beluk. Seorang
penyanyi menyanyikan satu-dua bait saja dari suatu lagu (pupuh), yang
kemudian diganti oleh penyanyi lainnya. Ada standar melodi dari tiap
lagu itu. Tapi aturannya hanya mengenai pola atau kontur dasar,
sedangkan variasinya sangat banyak karena dilakukan spontan, bergantung
pada selera dan kemampuan masing-masing.
Dari sisi teksnya, setiap
pupuh memiliki perwatakan yang berhubungan dengan isi cerita. Misalnya
Asmarandana untuk suasana romantis atau yang berisi nasihat-nasihat,
Sinom untuk yang segar-romantis, dan Pangkur untuk yang gagah atau
amarah. Yang lebih beragam lagi adalah lagunya. Suatu pupuh memiliki
berbagai melodi atau gaya. Dalam beluk, lebih-lebih lagi: setiap
penyanyi memiliki versi tersendiri, sehingga macam lagu itu
hampir-hampir tak terhingga.
Cukup banyak wawacan yang biasa
dibawakan dalam beluk dan yang punya hajat memilihnya, sesuai dengan
kesenangannya, atau dengan konteksnya. Wawacan Sulanjana, umpamanya,
hampir menjadi patokan untuk dibacakan pada waktu selamatan panen.
Wawacan Sekh Abdulkadir Jaelani, untuk acara yang bersifat keagamaan
(termasuk nasihat), atau untuk penghormatan pada leluhur. Wawacan
Purnama Alam, Panji Wulung dan wawacan Rengganis untuk selamatan anak,
karena isinya mengenai perjuangan, kepahlawanan, sehingga layak untuk
menjadi tauladan.
Semua wawacan berbentuk buku, yang dicetak
(terbitan), atau yang berupa salinan ditulis tangan. Hurufnya, ada yang
aksara Sunda (atau Jawa), Latin atau Pegon (Arab-gundul, Jawi).
Bahasanya, walau kebanyakannya Sunda, tapi untuk masyarakat yang
mengerti bahasa Jawa (pesisiran), seperti di beberapa daerah di wilayah
kabupaten Majalengka, Kuningan, Banjar, Tasikmalaya, Ciamis, Subang,
Karawang, dan Banten, banyak juga yang menyukai wawacan berbahasa Jawa.
Maka, bisa saja terjadi wawacan berhuruf pegon, bahasanya Jawa,
dinyanyikan dalam melodi dan logat Sunda.
Pembaca wawacan bukanlah
penyanyi, melainkan seorang juru baca, yang biasa disebut tukang- atau
juru-ilo. Ia yang membacakan baris-perbaris (padalisan), tanpa
melagukannya. Baris-baris itulah yang “disambar” (disebut dibeli) oleh
penyanyi beluk, dengan lantunan melodi yang sesuai dengan pupuh-nya.
Demikianlah, juru ilo dan juru beluk bergantian membaca dan menyanyi
tiap baris.
Akan tetapi, si penyanyi sering tidak menunggu bait itu
selesai dibacakan, ia menyambarnya pada tengah bait, mungkin karena ia
merasa telah hafal, atau karena ia akan bisa mendengar setengahnya lagi
sambil menyanyi. Oleh karena itu, biasa sekali terjadi kesalahan
interpretasi. Ketika kesalahan itu terjadi, tidaklah menjadi penilaian
pendengar bahwa ia penyanyi beluk yang jelek. Bahkan, hal itu bisa
menciptakan keceriaan tersendiri, yang membuat pendengar tertawa-tawa.
“Penyambaran” suatu baris sebelum tuntas dibacakan juru ilo, memiliki
makna musikal tersendiri, yaitu lagu menjadi lebih menyambung, tidak
terganjal oleh jeda pembacaan yang tidak berlagu. Mengenai siapa
penyanyi beluk yang akan mengambil teks yang dibacakan itu, dilakukan
secara spontan, tidak ditentukan pembagian atau urutannya. Siapa saja
yang paling dahulu bersuara, yang lain tak boleh merampasnya. Tentu
sering terjadi dua atau tiga orang penyanyi secara bersamaan angkat
suara, mereka harus mengalah untuk tidak melanjutkannya, sehingga yang
menyanyikan baris secara penuh hanya seorang saja. Tapi juga biasa
terjadi semuanya berhenti untuk memberi kesempatan pada salah seorang
dari mereka. Sama seperti yang salah baca, sebagai peristiwa komunal
kejadian seperti itu bukanlah hal yang penting untuk "dinilai" sebagai
kebaikan atau kegagalan pertunjukan, bahkan bisa menambah suasana riang.
Seorang penyanyi, biasanya melantunkan sampai selesai satu lagu
(pupuh). Tapi kadang-kadang ada penyanyi lain yang “merebut”-nya di
tengah lagu. Jika tak tepat, perebutan itu bisa dianggap sebagai
penjegalan, yang membuat tersinggung. Perebutan yang bagaimana, atau
dalam situasi seperti apa, yang tidak menyinggung yang direbut, adalah
bagian dari norma yang terbangun secara kultural dalam suatu komunitas.
Pertunjukan beluk adalah peristiwa komunal, berifat sosial atau
kekeluargaan yang khas dalam sistem kehidupan pedesaan, terutama di
masyarakat petani; dan biasanya diselenggarakan di dalam rumah, berupa
kenduri kecil, bukan pesta besar dengan panggung yang dibuat khusus,
untuk syukuran panen, khitanan, kelahiran bayi, dsb. Yang punya hajat
mengundang para seniman beluk secara kekeluargaan, yang umumnya para
tetangga-kerabat sekampung.
Namun demikian, karena teknik suara yang
khusus itu, tak banyak orang yang bisa menyanyikannya. Di suatu kampung
biasanya hanya terdapat beberapa orang saja yang dianggap baik menyanyi
beluk. Karena itu, untuk suatu pertunjukan beluk, bisa merupakan
kumpulan penyanyi dari beberapa desa bertetangga. Tapi, jaman lalu
terutama, mereka tidak terbentuk dalam satu grup kesenian formal. Si
empunya hajat juga yang menyediakan buku untuk dibaca, milik sendiri
atau pinjaman, dan mencari juru ilo yang akan membacanya—pada jaman
dulu, sampai tahun 1960an atau bahkan sampai sekarang untuk desa-desa
terpencil, di suatu kampung itu hanya terdapat beberapa orang saja yang
bisa membaca, baik huruf Sunda, Latin, ataupun Arab-pegon. Adapun
penyanyinya bisa 3, 4, 5 orang, atau lebih. Jumlahnya tidak dibatasi,
tergantung pada besar-kecilnya hajatan atau pada ketersediaan orang yang
bisa.
Beluk adalah kesenian yang berdasar pada sastra tulis,
wawacan. Namun, dalam praktik pertunjukannya, unsur kelisanan sangatlah
besar. Wilayah untuk improvisasi sangat lebar, dan lagu-lagu beluk tidak
memiliki notasi, sampai sekarang. Di sana-sini juga terdapat alok,
yaitu nyanyian selingan atau yang mengimbuhi lagu pokok dan para
penonton bisa turut menyanyi atau meramaikan dengan tepukan tangan
berirama. Kesenian serupa beluk juga terdapat di Berbagai wilayah,
seperti yang disebut bujangga di Kuningan, macapat di Cirebon, di Jawa
Tengah dan Yogyakarta, mocoan di Banyuwangi, kakawin di Bali, cepung di
Lombok, dan banyak lagi nama-nama lainnya di seantero Nusantara.
Adm.KujangKuningan
Sumber : http://www.facebook.com/kuningankab.go.id/posts/10152045949921515 (tanpa edit)